Riuh suara anak-anak bermain dan tertawa mencuri perhatiannya, membuat lelaki paruh baya itu kemudian meninggalkan meja kerjanya dan keluar untuk melepaskan penat sejenak. Tak lepas pandangan matanya memperhatikan polah anak-anak yang asik bermain, ada yang bermain basket, bermain bulu tangkis, ada yang hanya sekedar duduk-duduk sambil bercanda dengan teman lainnya, bahkan ada yang berlari berkejar-kejaran, melihat itu tak sadar terlontar ucapan dari lelaki paruh baya itu “ mereka masih saja bermain kejar-kejaran, padahal tak lama lagi mereka sudah menginjak bangku universitas “ sambil ikut tersenyum melihat polah anak-anak tadi.
Tanpa ia sadari, ia terkenang kembali akan masa lalunya, tentang seorang anak kecil. Saat itu anak kecil itu berusia 4 tahun. Bayangan masa lalu seolah menari dalam pelupuk matanya, bagaimana anak kecil itu selalu bermain riang bersama teman sebayanya, berlari dan berkejar-kejaran di pematang sawah, seolah tidak pernah merasakan dan mengerti akan sulitnya kehidupan. Iapun selalu bermain bersama adiknya yang hanya terpaut usia kurang dari 1 tahun. Tapi yang unik, adiknya terkenal lebih pemberani dibandingkan dirinya, siapapun akan dihadapi dan tak jarang sang adik kerap menjadi pelindung bagi kakaknya ketika lagi di ganggu teman bermainnya, tak ayal kakakpun amat sayang pada adiknya.
Bayangan masa lalu itu terus bergeser pada kondisi keluarga anak kecil kala itu, bagaimana ia terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, tinggal di daerah terpencil dengan latar pendidikan yang hampir masyarakatnya tidak pernah mengenyam pendidikan. Meskipun demikian, terlahir dalam kondisi keluarga sederhana dan memiliki lima saudara laki-laki semua, dengan sebutan Pandawa Lima sama sekali tak membuatnya sedih namun sebaliknya selalu membuatnya bersyukur memiliki orangtua yang meskipun tidak pernah mengenyam bangku sekolah, dengan kondisi ekonomi yang serba sulit dan hanya bekerja sebagai petani, tak menyurutkan semangat kedua orangtuanya untuk membesarkan kelima anak laki-laki mereka, bagaimana anak-anak mereka bisa sekolah setinggi mungkin dan mencapai cita-cita.
Suatu ketika, keluarga anak kecil itu kedatangan saudara ibunya dirumah, mereka biasa memanggil dengan sebutan budhe, beliau adalah kakak tertua dari ibunya, yang belum dikaruniai seorang anak dalam rumah tangganya. Maksud kedatangannya tak lain ingin mengadopsi salah satu dari keponakan mereka (baca Pandawa lima). Sebagai keponakan, tentu mereka sangat senang dengan kedatangan budhe dan pakdhenya, tanpa mengetahui pasti apa maksud kedatangan mereka. Hingga dikemudian hari, kedua orangtuanya pun harus mengambil keputusan, memilih salah satu diantara kelima anaknya, akhirnya pilihan jatuh pada anak ke empat, anak kecil itu. Upaya membujuk, merayu bahkan menilap ( sebutan kebiasaan orang kampungnya dengan menjanjikan sesuatu agar anak-anak senang ) pun dilakukan meskipun ia, anak kecil itu tak pernah mendapatkan apa yang sudah dijanjikan, hingga akhirnya anak kecil itupun bersedia.
Dan tibalah masanya anak kecil itu diantar ke sebuah desa tempat dimana budhe dan pakdhenya tinggal. Sesampainya disana anak kecil itupun nampak gelisah, mukanya pucat dan wajahnya menyiratkan perasaan yang sulit digambarkan. Dari pagi hingga siang ia terus berdiri diluar rumah dibawah pohon pisang dan tidak mau masuk kedalam rumah budhenya. Hingga kedua orang tuanyapun akhirnya pergi meninggalkannya secara diam-diam agar anaknya bisa melupakannya sebagaimana saran dari para tetangganya. Namun anak kecil itu masih tetap terdiam tak bergeming dari tempatya dan tidak mau masuk ke dalam rumah.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment