Thursday, September 9, 2021

kenangan tak terlupakan dari sebuah jarum suntik

 Dan…

Dua tahun pun berlalu, saat itu keceriaan menyelimuti wajahnya karena si Anak kecil itu telah memiliki banyak teman, ia begitu riang berlari dan bermain bersama dengan teman-temannya, lupa akan kesedihan yang dirasakannya ketika pertama kali ia berada di rumah budhenya. Keceriaan itu mampu menutupi kerinduannya akan  masa-masa bersama dengan adiknya dan saudara-saudara yang lainnya, dan karena tak lama lagi ia akan duduk dibangku  sekolah dasar. Ketika hari itupun tiba, dengan seragam dan sepatu barunya, dengan kening mengkilat karena minyak urang aring, ia bergegas bersama pakdenya yang kemudian ia panggil bapak menuju Sekolah SD yang berjarak kurang lebih 1 km dari rumahnya. “Coba lihat giginya, dah tumbuh belum” kata ibu guru yang belum ia kenal, anak kecil itupun meringis seolah ingin menampakkan giginya yang hitam dan habis karena gigis. Nah sekarang coba pegang telinganya kirinya dengan tangan kanannya, lingkarkan ke atas kepala ya” lanjut ibu guru. Begitulah awal anak kecil itu masuk sekolah yang sekarang sudah berumur 6 tahun itu. Hari-harinya dipenuhi keceriaan, temannya pun semakin bertambah banyak. Aneka ragam bermainpun juga mulai ia kenal, obak benteng, picis, tekong (permainan lembar batu dan petak umpet), lompat tali dan sebagainya. Pada zaman itu memang belum ada permainan modern, tidak ada hand phone, komputer, semua permainan tradisional, bahkan tak jarang anak-anak menikmati alam yang segar untuk bermain lepas.
Lamunannya akan anak kecil itu terhenti tatkala seseorang menegurnya dari belakang “ Maaf pak mengganggu sebentar, ada berkas yang harus bapak tanda tangani segera “ Ucap seorang lelaki sambil menyodorkan berkas yang dimaksud”, Ia pun kemudian menandatangani berkas tersebut dan memberikannya kembali kepada lelaki tadi, “ terima kasih pak, Iya sama-sama Her “. Kemudian lelaki yang disebut tadi berkata “ saya perhatikan sepertinya Bapak begitu asik memperhatikan anak-anak bermain “, ah…iya Her, melihat mereka bermain saya jadi kepikiran memasukkan agenda sehari bermain tradisional dalam acara peringatan hari jadi sekolah nanti, ucapnya “ waah,,,ide bagus tuh pak, saya dukung pak, anak sekarang memang harus kita kenalkan dengan permainan tradisional. Ia pun tersenyum mendengar ucapan lelaki itu lalu berkata “ ingatkan saya nanti ketika agenda rapat  sekolah, Siap pak, sambil tersenyum ! Kemudian lelaki itu permisi melanjutkan pekerjaannya. Lalu satu persatu permainan tradisional itu kembali bermain dalam ingatannya…
  Mengingat semua permainan itu tak ayal membuatnya tersenyum, bagaimana anak kecil itu bermain bersama saudara-saudaranya, adiknya yang pemberani, kakak-kakaknya yang juga suka mengalah.
Suatu ketika anak kecil itu begitu senang ketika pakdenya mengajaknya berkunjung ke kampung halamannya untuk bertemu dengan orang tua dan saudara-saudaranya, disitulah kebahagiaan yang tak pernah terukir rasa kangenpun meluap saat-saat mereka bertemu, kadang tertawa, kadang juga bertengkar, begitulah kehidupan anak kecil. Namun tidak bisa berlama-lama karena harus kembali bersekolah.
Kembali melakukan rutinitas keseharian selepas balik dari kampung halamannya, pagi-pagi ia sudah harus mandi supaya sempat beli sarapan kegemarannya  di warung pak jono,  nasi campur dengan lauk tempe mendoan. ia kembali tersenyum simpul ketika mengingat itu dan ia yakin anak kecil itu pasti sangat bersyukur dengan apa yang pernah ia lalui dimasa kecilnya.
Pikirannya terus berputar pada kenangan anak kecil itu, hingga ia kembali mengingat kala anak kecil itu yang selalu ditakut-takuti akan disuntik pak dokter jika nakal. Bahkan suatu hari ia yang sedang asyik bermain di rumah temannya tanpa sengaja melihat seorang bapak dari temannya sedang memegang suntikan lalu menancapkan di bagian pahanya, yang kemudian hari baru ia ketahui jika bapak itu sedang mengobati sakitnya dan rutin melakukannya sendiri karena ia seorang tentara bagian kesehatan. Tiba-tiba Bapak itu melihat kehadiran anak kecil itu dan kemudian memanggilnya “sini le, kalau mau ku suntik” dengan wajah ketakutan anak kecil itupun berlari sambil menangis. Ketika suatu hari di sekolah ada kegiatan vaksin, anak kecil itu menangis ketakutan membayangkan ia akan ditusuk jarum suntik, yang sangat menyakitkan. Setiap orang yang datang dengan pakaian necis ke rumahnya, dianggapnya seorang dokter atau mantri yang siap menancapkan jarum suntiknya, tak ayal anak itupun menangis ketakutan
Tanpa sadar badannya bergidik seolah bisa merasakan ketakutan anak kecil itu akan jarum suntik, dan sepertinya rasa takut terhadap jarum suntik itu terus menghantui anak kecil itu hingga sekarang, seakan menjadi kenangan tak terlupakan…

Bersambung...

Outdoor Class Day

 


Kita sangat senang jika melihat anak-anak belajar tanpa beban, tanpa tekanan dan intimidasi, mereka bebas mengeksplor banyak kebaikan, mereka akan tumbuh dan berkembang berdasarkan potensi yang mereka miliki. Mari kita didik mereka menjadi anak-anak yang kuat, kuat fikirannya, kuat fisiknya dan kuat mental dan spiritualnya. 

like and subscribe video OCD 👉 OCD SMADA Berau

Dan Anak Kecil Itupun Menangis di Bawah Pohon Pisang ...

 Riuh suara anak-anak bermain dan tertawa mencuri perhatiannya, membuat lelaki paruh baya itu kemudian meninggalkan meja kerjanya dan keluar untuk melepaskan penat sejenak. Tak lepas pandangan matanya memperhatikan polah anak-anak yang asik bermain, ada yang bermain basket, bermain bulu tangkis, ada yang hanya sekedar duduk-duduk sambil bercanda dengan teman lainnya, bahkan ada yang berlari berkejar-kejaran, melihat itu tak sadar terlontar ucapan dari lelaki paruh baya itu “ mereka masih saja bermain kejar-kejaran, padahal tak lama lagi mereka sudah menginjak bangku universitas “ sambil ikut tersenyum melihat polah anak-anak tadi. 


Tanpa ia sadari, ia terkenang kembali akan masa lalunya, tentang seorang anak kecil. Saat itu anak kecil itu berusia 4 tahun. Bayangan masa lalu seolah menari dalam pelupuk matanya,  bagaimana anak kecil itu selalu bermain riang bersama teman sebayanya, berlari dan berkejar-kejaran di pematang sawah, seolah tidak pernah merasakan dan mengerti akan sulitnya kehidupan. Iapun selalu bermain bersama adiknya yang hanya terpaut usia kurang dari 1 tahun. Tapi yang unik, adiknya terkenal lebih pemberani dibandingkan dirinya, siapapun akan dihadapi dan tak jarang sang adik kerap menjadi pelindung bagi kakaknya ketika lagi di ganggu teman bermainnya, tak ayal kakakpun amat sayang pada adiknya.

     Bayangan masa lalu itu terus bergeser pada kondisi keluarga anak kecil kala itu, bagaimana ia terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, tinggal di daerah terpencil dengan latar pendidikan yang hampir masyarakatnya tidak pernah mengenyam pendidikan. Meskipun demikian, terlahir dalam kondisi keluarga sederhana dan memiliki lima saudara laki-laki semua, dengan sebutan Pandawa Lima sama sekali tak membuatnya sedih namun sebaliknya selalu membuatnya bersyukur memiliki orangtua yang meskipun tidak pernah mengenyam bangku sekolah, dengan kondisi ekonomi yang serba sulit dan hanya bekerja sebagai petani, tak menyurutkan semangat kedua orangtuanya untuk membesarkan kelima anak laki-laki mereka, bagaimana anak-anak mereka bisa sekolah setinggi mungkin dan mencapai cita-cita.

       Suatu ketika, keluarga anak kecil itu kedatangan saudara ibunya dirumah, mereka biasa memanggil dengan sebutan budhe, beliau adalah kakak tertua dari ibunya, yang belum dikaruniai seorang anak dalam rumah tangganya. Maksud kedatangannya tak lain ingin mengadopsi salah satu dari keponakan mereka (baca Pandawa lima). Sebagai keponakan, tentu mereka sangat senang dengan kedatangan budhe dan pakdhenya, tanpa mengetahui pasti apa maksud kedatangan mereka. Hingga dikemudian hari, kedua orangtuanya pun harus mengambil keputusan, memilih salah satu diantara kelima anaknya, akhirnya pilihan jatuh pada anak ke empat, anak kecil itu. Upaya membujuk, merayu bahkan menilap ( sebutan kebiasaan orang kampungnya dengan menjanjikan sesuatu agar anak-anak senang ) pun dilakukan meskipun ia, anak kecil itu tak pernah mendapatkan apa yang sudah dijanjikan, hingga akhirnya anak kecil itupun bersedia.

     Dan tibalah masanya anak kecil itu diantar ke sebuah desa tempat dimana budhe dan pakdhenya tinggal. Sesampainya disana anak kecil itupun nampak gelisah, mukanya pucat dan wajahnya menyiratkan perasaan yang sulit digambarkan. Dari pagi hingga siang ia terus berdiri diluar rumah dibawah pohon pisang dan tidak mau masuk kedalam rumah budhenya. Hingga kedua orang tuanyapun akhirnya pergi meninggalkannya secara diam-diam agar anaknya bisa melupakannya sebagaimana saran dari para tetangganya. Namun anak kecil itu masih tetap terdiam tak bergeming dari tempatya dan tidak mau masuk ke dalam rumah.

     Pun akhirnya, anak kecil itu tak bisa membendung perasaannya, ia menangis hingga air matanya mengalir deras membasahi pipinya seiring perasaaannya yang teramat sedih. Dan ia masih tak bergeming di bawah pohon pisang di depan rumah budhenya.   

Bersambung....