Banyak
cerita dari rekan-rekan sejawat, bahwa pendidikan era tahun 70 hingga 90-an,
adalah era terbaik. Pada zaman itu, murid begitu hormat dengan gurunya, murid
juga takut dengan gurunya, setiap tugas yang diberikan dapat dikerjakan dan
diselesaikan dengan baik. Bahkan ketika ada kekerasan sedikit yang dilakukan
oleh guru hamper tidak ada yang melawan, orang tuapun juga tidak serta merta
membela anaknya dan menyalahkan gurunya. Itulah kira-kira obrolan seputar
pendidikan di kalangan para guru, yang intinya ingin membandingkan pendidikan
masa kini dengan masa dulu.
Baiklah,
mari lihat bagaimana pendidikan zaman dulu dari beberapa sudut pandang, agar
pemahaman kita utuh dan bisa membandingkannya dengan masa kini dengan
proporsional. Itu bias kita lihat dari sisi kurikulumnya, alat bantu yang
digunakan, akses belajar dan juga sumber informasi.
1.
Kurikulum
Kurikulum
yang sangat popular pada zaman itu adalah kurikulum 94, dimana sistem
pembelajarannya cenderung di dalam kelas, selain itu, guru juga mengejar target
berupa materi yang harus dikuasai siswa. Namun, kesalahan yang dilakukan siswa
dalam memahami pelajaran, tidak dianggap kegagalan. Hal tersebut hanya merupakan
bagian dari proses belajar.
2.
Alat Bantu Pendidikan
Karena
saat itu teknologi belum berkembang sebagaiman saat ini, alat bantu
pendidikanpun juga sangat sederhana. Papan tulis dan kapur tulis adalah alat
utama yang digunakan dalam proses belajar di kelas, dibantu dengan penunjuk
papan yang terbuat dari kayu atau bamboo, yang kadang-kadang alat ini yang
ditakuti anak didik, karena selain untuk penunjuk kadang juga di gunakan untuk
memukul jika siswa dianggap melanggar.
3.
Akses Pelajaran
Akses belajar pada saat itu sangat terbatas, selain di sekolah sebagai tempat belajar adalah kelompok-kelompok kecil dari kumpulan teman-temannya dan ini sebagai kelompok belajar yang meleka lakukan di luar sekolahnya
4. Sumber Informasi
Sumber
informasi untuk mendukung kegiatan belajar sangat terbatas sekali. Teknologi
digital masih sangat jauh tertinggal, sehingga media-media sebagai sumber
informasi dan belajarpun juga sangat terbatas. Saat itu yang ada hanya radio
dan televise itupun hanya beberapa orang saja yang memiliki.
5.
Tujuan Bersekolah
Orang
tua menyekolahkan kita dengan tujuan untuk mempelajari dan memahami ilmu yang
belum diketahui. Bahkan, mereka menginginkan karakter kita bisa terbentuk agar
dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Nilai-nilai karakter ini meliputi
rasa tanggung jawab, kejujuran, sopan santun, dan semangat belajar. Dalam hal
ini orang tua sangat berperan dalam mendampingi anaknya, mereka bias lebih
focus karena hamper tidak ada pengaruh yang mengalihkan perhatiannya untuk
mendampingi anaknya.
Dari 5 sudut pandang di
atas, maka beberapa hal yang bias kita simpulkan :
Pertama,
secara umum pendidikannya masih sangat tertinggal, meskipun bukan berarti
sistem pendidikannya rendah. Bahkan tujuan pendidikan mudah tercapai karena
kolaborasi yang baik antara guru dengan orang tua.
Kedua,
hampir tidak ada pengaruh lingkungan yang signifikan dalam proses pembelajaran.
Hal ini terjadi karena keterbatasan akses informasi, keterbatasan teknologi
baik itu pengaruh smart phone maupun alat digital lainnya.
Ketiga,
Perhatian dari semua pihak terhadap peserta didik, sehingga tujuan pembelajaran
bisa tercapai, tentu ini menjadi pelajaran penting untuk semua stake holder
bahwa pendidikan harus menjadi tanggung jawab bersama.
Bagaimana
pendidikan saat ini? Zaman abad 21, dimana teknologi sangat mendominasi
kehidupan manusia masa kini. Apakah masih relevan pandidikan di era 70 an
dengan era sekarang? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering terlontar di
masyarakat kita. Kadang pertanyaan itu muncul di tengah kekhawatiran orang tua
akan pengaruh teknologi yang luar biasa, dan juga rasa tidak percaya dengan
lembaga pendidikan yang mengkin karena dianggap tidak mampu dalam melaksanakan
fungsinya.
Pertanyaan
di atas menjadi tantangan sekaligus menjadi tugas berat dunia pendidikan karena
zaman terus berubah, dan teknogi berkembang begitu pesat, zaman yang disebut
sebagai era Industri 4.0. Sementara Sumber Daya Manusia, masih banyak dari masa
sebelum era digital, mereka lahir di era sebelum era digital, sebut saja mereka
ada emigrant IT. Sementara peserta didiknya lahir saat dimana teknologi
berkembang begitu pesatnya, sebut saja mereka adalah native IT. Mereka tumbuh
dan besar juga di era teknologi, sehingga tidak heran jika mereka begitu
menguasai teknogi dibandingkan dengan orang tuanya yang lahir sebelum era
teknologi, khususnya smart phone.
Menurut
Dyah, dalam tulisannya yang dimuat dalam https://graduate.binus.ac.id/ , Secara
umum, Industri 4.0 menggambarkan tren yang berkembang menuju otomasi dan
pertukaran data dalam teknologi dan proses dalam industri manufaktur. Tren-tren
tersebut diantaranya adalah Internet of Things (IoT), Industrial Internet of
Things (IioT), Sistem fisik siber (CPS), artificial intelligence (AI), Pabrik
pintar, Sistem Komputasi awan, dan sebagainya. Bahkan pada rancangan Industrial
Internet of Things, level industri ini menciptakan sistem manufaktur di mana
mesin di pabrik dilengkapi dengan konektivitas nirkabel dan sensor untuk
memantau dan memvisualisasikan seluruh proses produksi. Bahkan pembuatan
keputusan secara otonomi juga bisa dilakukan langsung oleh mesin-mesin
tersebut. Singkatnya, industri 4.0 adalah tentang transformasi digital. Era
industri ini akan memungkinkan otomatisasi peralatan-peralatan dengan sistem
gabungan yang dapat bekerja sama satu sama lain. Teknologi ini juga akan
membantu memecahkan masalah dan melacak proses, sekaligus meningkatkan
produktivitas dalam bisnis dan manufaktur di berbagai skala. Tentunya,
penerapan industri ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas demi hajat
hidup orang banyak.
Menurut Prof.Dwi Korita Karnawati, pernah
menyampaikan bahwa “Revolusi Industri 4.0” dalam 5 (lima) tahun mendatang akan
menghapus 35% jenis pekerjaan dan bahkan 10 tahun yang akan datang jenis
pekerjaan yang hilang bertambah menjadi 75%.”, tentu ini sangat menghawatirkan
karena ini akan menyebabkan tingkat pengangguran di Indonesia akan terus
bertambah jika SDM nya tidak berkualitas. Apalagi di masa Indonesia Emas,
dimana pada masa itu kita mendapatkan bonus demografi, masa dimana usia
produktif semakin banyak. Dan jika tidak diimbangi dengan kompetensi yang
cukup, maka mereka akan kalah bersaing, dan pada saat itu angka pengangguran
semakin bertambah banyak.
Bagaimana
kesiapan SDM sekolah khususnya guru dalam mengelola pendidikan di abad 21?
bagaimana kesiapan guru dalam menerapkan pembelajaran di era ini?, maka jawabannya adalah bagaimana guru menjadi
fasilitator dari generasi abad ini, guru juga harus memahami kebutuhan penting
yanng menjadi bekal dalam persaingan di abad 21 ini.
Menurut
Anies Baswedan dalam kesempatannya memberikan sambutan dalam pembukaan OSN di Palembang pada 2016. paling tidak ada 3
bekal yang harus dimiliki
oleh generasi abad 21 dalam
menghadapi era Industri 4.0, yaitu kompetensi, karakter dan literasi. Maka, seorang guru abad 21 juga minimal harus
memiliki 3 pilar tersebut.
1. 1. Kompetensi
Kompetensi
adalah satu keharusan yang harus dimiliki oleh setiap guru, mereka harus ahli
dalam bidangnya, tidak sebatas pengetahuan saja tetapi juga keterampilan dan
sikap kerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai standar. Kebutuhan kaum millenial (baca : peserta
didik) harus di jawab dengan kompetensi, karena kaum millenial juga menghadapi
tantangan yang sama, yaitu era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan persaingan.
Jika kemudian mereka tidak punya bekal yang cukup maka mereka akan menjadi
penonton bahkan kuli di negerinya sendiri.
masih menurut Anies, kompetensi yang menjadi tuntutan
di abad ini adalah berfikir kritis, kreativitas, kolaborasi dan komunikasi.
Berfikir kritis adalah sikap yang membuka wawasan dan fikiran mensikapi
berbagai persoalan, sehingga dengan kompetensi ini guru diharapkan mampu
memahami segala persoalan di lapangan sekligus mampu memberikan solusi dari
permasalahan itu. Kreatifitas merupakan kompetensi yang menjadikan seorang guru
mampu membaca situasi untuk kreatif dalam melakukan perubahan dalam
pembelajaran, mengerti akan kebutuhan anak didiknya dan juga mampu menciptakan
suasana baru dalam pembelajarannya. Kolaborasi dan komunikasi juga kompetensi
penting di era ini, seorang guru tidak boleh menutup diri, dan pintar untuk
dimiliki sendiri, akan tetapi seorang guru harus mampu berkolaborasi sekaligus
membuka komunikasi secara baik dengan anak didiknya.
2. 2. Karakter
Salah
satu perubahan mendasar dalam era Industri 4.0 ini adalah perubahan nilai-nilai
sosial di tengah masyarakat. Teknologi memungkinkan terjadinya penurunan
nilai-nilai sosial. Maka penguatan karakter menjadi satu keharusan yang harus
dilakukan. Apakah itu karakter? Bagaimana menguatkannya?
Menurut
beberapa ahli diantaranya adalah :
W. B. Saunders ; Karakter adalah
suatu sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh seorang individu. Karakter
seseorang dapat terlihat dari berbagai atribut dalam tingkah lakunya
sehari-hari.
Alwisol ; Karakter adalah
suatu penggambaran tingkah laku yang dilakukan dengan memperlihatkan dan
menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk), secara implisit maupun eksplisit.
John Maxwell ; Pengertian
karakter jauh lebih baik dibandingkan dengan sekadar perkataan. Lebih lanjut,
Maxwell mengatakan karakter adalah suatu pilihan yang dapat menentukan tingkat
kesuksesan seseorang.
Kamisa ; Karakter adalah
suatu sifat Kejiwaan, akhlak, serta budi pekerti yang dimiliki seseorang yang
membuatnya berbeda dengan orang lainnya.
Soemarno Soedarsono ; Karakter adalah
suatu nilai yang terpatri dalam diri seseorang yang didapatkan dari pengalaman,
pendidikan, pengorbanan, percobaan, serta pengaruh lingkungan yang kemudian
dipadupadankan dengan nilai-nilai yang ada di dalam diri seseorang dan menjadi
nilai intrinsik yang terwujud di dalam sistem daya juang yang kemudian melandai
sikap, perilaku, dan pemikiran seseorang.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI); Menurut KBBI, arti karakter adalah tabiat; sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain;
watak.
Jika kita simpulkan, karakter adalah sifat batin yang
memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki
manusia atau makhluk hidup lainnya.
Lalu karakter yang seperti apa yang dibutuhkan saat ini? Masih
menurut Anies Baswedan, setidaknya ada dua karakter yang harus dimiliki oleh
seorang guru, yaitu karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral
meliputi iman, takwa, jujur, rendah hati dan lainnya. Sedangkan kinerja
meliputi, kerja keras, ulet, disiplin, tuntas dan sebagainya. Keduanya harus
ada dalam diri seorang guru, dan bukan salah satunya. Karena banya yang merasa
cukup dengan moral saja, meraka beriman, rajin dalam ibadah, mengedapankan
kejujuran, baik aklaknya, tetapi kinerjanya tidak baik, tidak disiplin, tidak
bertanggung jawab dan lain sebagainya. Sebaliknya banyak juga yang memiliki
kinerja yang baik, tarcapai target pekerjaannya, disiplin dalam mengatur
waktunya, tetapi mereka lupa memenuhi hak-hak ruhiyahnya, mereka tidak jujur
hingga akhirnya dipenjara karena ketidak jujurannya. Oleh karena itu dua
karakter inilah yang harus dihadirkan dalam diri seorang guru.
3. Literasi
Luasnya
wawasan seseorang tergantung dari kemampuan literasinya. Oleh karena itu ayat
Al Quran yang pertama kali turun adalah tentang perintah “membaca” Iqra! (Iqra
Bismimrobbikalladzi kholaq) “bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu yang
menciptakan” dan dilanjutkan di ayat ke
4 tentang perintah “menulis” (‘Alamal insaana maalam ya’lam) “yang mengajarkan
manusia dengan pena”, ini maknanya mengajarkan dengan tulisan. Dan pada
ayat-ayat berikutnya bagaimana Tuhan mengajarkan pada manusia tentang
pengetahuan. Agar dengan demikian tertanamlah wawasan dan pengetahuan dengan
baik. Begitu pentingnya kemampuan literasi ini, apalagi di era teknologi,
informasi datang tak terbendung, sehingga berbagai upaya harus dilakukan untuk
menumbuhkannya. Literasi menurut anies meliputi minat dan daya. Minat baca
harus tumbuh dan daya baca harus mengikutinya. Hal yang mengejutkan terjadi di
tahun 2016, dimana satu penelitian yang dilakukan oleh “Central Connecticut State
Univesity” tentang Most Littered Nation In the World, Indonesia dinyatakan
menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Ini sangat
memprihatinkan, dan yang lebih membuat kita harus mengurut dada adalah
Indonesia masih lebih rendah dengan Negara-negara tetangga, misalnya Malaysia
dan Thailand. Ditahun 2019 minat membaca sudah mulai membaik, tetapi daya
bacanya masih rendah. Oleh karena itu pemerintah sendiri saat ini sedang
giat-giatnya melakukan program literasi baik itu di sekolah denga program
Program Literasi Sekolah (GLS) maupun di masyarakat.
Tiga pilar itulah yang
menurut saya mampu menjawab tantangan abad 21 ini sekaligus menjadi bekal
setiap guru dalam mengahdapi era teknologi dan globalisasi di abad 21 ini.
Ini sebagai bentuk reorientasi peran guru dalam menghadapi generasi abad 21,
agar mereka mampu dan kokoh perkembangan zaman yang begitu cepat berubah,
dengan bekal kompetensi, karakter dan literasi yang baik.
Sumber
https://graduate.binus.ac.id/2021/03/01/teknologi-digital-sebagai-kunci-utama-pada-era-industri-4-0/
https://realitasonline.id/artikel/pengembangan-sdm-pada-era-revolusi-industri-4-0/
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/05/tiga-pilar-hadapi-perubahan-zaman-literasi-kompetensi-dan-karakter