Monday, November 22, 2021

GURU ABAD 21 (Reorientasi Peran Guru dalam Menghadapi Generasi Abad 21)

 

Banyak cerita dari rekan-rekan sejawat, bahwa pendidikan era tahun 70 hingga 90-an, adalah era terbaik. Pada zaman itu, murid begitu hormat dengan gurunya, murid juga takut dengan gurunya, setiap tugas yang diberikan dapat dikerjakan dan diselesaikan dengan baik. Bahkan ketika ada kekerasan sedikit yang dilakukan oleh guru hamper tidak ada yang melawan, orang tuapun juga tidak serta merta membela anaknya dan menyalahkan gurunya. Itulah kira-kira obrolan seputar pendidikan di kalangan para guru, yang intinya ingin membandingkan pendidikan masa kini dengan masa dulu.

Baiklah, mari lihat bagaimana pendidikan zaman dulu dari beberapa sudut pandang, agar pemahaman kita utuh dan bisa membandingkannya dengan masa kini dengan proporsional. Itu bias kita lihat dari sisi kurikulumnya, alat bantu yang digunakan, akses belajar dan juga sumber informasi.

1.        Kurikulum

Kurikulum yang sangat popular pada zaman itu adalah kurikulum 94, dimana sistem pembelajarannya cenderung di dalam kelas, selain itu, guru juga mengejar target berupa materi yang harus dikuasai siswa. Namun, kesalahan yang dilakukan siswa dalam memahami pelajaran, tidak dianggap kegagalan. Hal tersebut hanya merupakan bagian dari proses belajar.

2.        Alat Bantu Pendidikan

Karena saat itu teknologi belum berkembang sebagaiman saat ini, alat bantu pendidikanpun juga sangat sederhana. Papan tulis dan kapur tulis adalah alat utama yang digunakan dalam proses belajar di kelas, dibantu dengan penunjuk papan yang terbuat dari kayu atau bamboo, yang kadang-kadang alat ini yang ditakuti anak didik, karena selain untuk penunjuk kadang juga di gunakan untuk memukul jika siswa dianggap melanggar.

3.        Akses Pelajaran

Akses belajar pada saat itu sangat terbatas, selain di sekolah sebagai tempat belajar adalah kelompok-kelompok kecil dari kumpulan teman-temannya dan ini sebagai kelompok belajar yang meleka lakukan di luar sekolahnya

4.        Sumber Informasi

Sumber informasi untuk mendukung kegiatan belajar sangat terbatas sekali. Teknologi digital masih sangat jauh tertinggal, sehingga media-media sebagai sumber informasi dan belajarpun juga sangat terbatas. Saat itu yang ada hanya radio dan televise itupun hanya beberapa orang saja yang memiliki.

5.        Tujuan Bersekolah

Orang tua menyekolahkan kita dengan tujuan untuk mempelajari dan memahami ilmu yang belum diketahui. Bahkan, mereka menginginkan karakter kita bisa terbentuk agar dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Nilai-nilai karakter ini meliputi rasa tanggung jawab, kejujuran, sopan santun, dan semangat belajar. Dalam hal ini orang tua sangat berperan dalam mendampingi anaknya, mereka bias lebih focus karena hamper tidak ada pengaruh yang mengalihkan perhatiannya untuk mendampingi anaknya.

Dari 5 sudut pandang di atas, maka beberapa hal yang bias kita simpulkan :

Pertama, secara umum pendidikannya masih sangat tertinggal, meskipun bukan berarti sistem pendidikannya rendah. Bahkan tujuan pendidikan mudah tercapai karena kolaborasi yang baik antara guru dengan orang tua.

Kedua, hampir tidak ada pengaruh lingkungan yang signifikan dalam proses pembelajaran. Hal ini terjadi karena keterbatasan akses informasi, keterbatasan teknologi baik itu pengaruh smart phone maupun alat digital lainnya.

Ketiga, Perhatian dari semua pihak terhadap peserta didik, sehingga tujuan pembelajaran bisa tercapai, tentu ini menjadi pelajaran penting untuk semua stake holder bahwa pendidikan harus menjadi tanggung jawab bersama.

Bagaimana pendidikan saat ini? Zaman abad 21, dimana teknologi sangat mendominasi kehidupan manusia masa kini. Apakah masih relevan pandidikan di era 70 an dengan era sekarang? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering terlontar di masyarakat kita. Kadang pertanyaan itu muncul di tengah kekhawatiran orang tua akan pengaruh teknologi yang luar biasa, dan juga rasa tidak percaya dengan lembaga pendidikan yang mengkin karena dianggap tidak mampu dalam melaksanakan fungsinya.

Pertanyaan di atas menjadi tantangan sekaligus menjadi tugas berat dunia pendidikan karena zaman terus berubah, dan teknogi berkembang begitu pesat, zaman yang disebut sebagai era Industri 4.0. Sementara Sumber Daya Manusia, masih banyak dari masa sebelum era digital, mereka lahir di era sebelum era digital, sebut saja mereka ada emigrant IT. Sementara peserta didiknya lahir saat dimana teknologi berkembang begitu pesatnya, sebut saja mereka adalah native IT. Mereka tumbuh dan besar juga di era teknologi, sehingga tidak heran jika mereka begitu menguasai teknogi dibandingkan dengan orang tuanya yang lahir sebelum era teknologi, khususnya smart phone.

Menurut Dyah, dalam tulisannya yang dimuat dalam https://graduate.binus.ac.id/ , Secara umum, Industri 4.0 menggambarkan tren yang berkembang menuju otomasi dan pertukaran data dalam teknologi dan proses dalam industri manufaktur. Tren-tren tersebut diantaranya adalah Internet of Things (IoT), Industrial Internet of Things (IioT), Sistem fisik siber (CPS), artificial intelligence (AI), Pabrik pintar, Sistem Komputasi awan, dan sebagainya. Bahkan pada rancangan Industrial Internet of Things, level industri ini menciptakan sistem manufaktur di mana mesin di pabrik dilengkapi dengan konektivitas nirkabel dan sensor untuk memantau dan memvisualisasikan seluruh proses produksi. Bahkan pembuatan keputusan secara otonomi juga bisa dilakukan langsung oleh mesin-mesin tersebut. Singkatnya, industri 4.0 adalah tentang transformasi digital. Era industri ini akan memungkinkan otomatisasi peralatan-peralatan dengan sistem gabungan yang dapat bekerja sama satu sama lain. Teknologi ini juga akan membantu memecahkan masalah dan melacak proses, sekaligus meningkatkan produktivitas dalam bisnis dan manufaktur di berbagai skala. Tentunya, penerapan industri ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas demi hajat hidup orang banyak.

Menurut Prof.Dwi Korita Karnawati, pernah menyampaikan bahwa “Revolusi Industri 4.0” dalam 5 (lima) tahun mendatang akan menghapus 35% jenis pekerjaan dan bahkan 10 tahun yang akan datang jenis pekerjaan yang hilang bertambah menjadi 75%.”, tentu ini sangat menghawatirkan karena ini akan menyebabkan tingkat pengangguran di Indonesia akan terus bertambah jika SDM nya tidak berkualitas. Apalagi di masa Indonesia Emas, dimana pada masa itu kita mendapatkan bonus demografi, masa dimana usia produktif semakin banyak. Dan jika tidak diimbangi dengan kompetensi yang cukup, maka mereka akan kalah bersaing, dan pada saat itu angka pengangguran semakin bertambah banyak.

Bagaimana kesiapan SDM sekolah khususnya guru dalam mengelola pendidikan di abad 21? bagaimana kesiapan guru dalam menerapkan pembelajaran di era ini?, maka jawabannya adalah bagaimana guru menjadi fasilitator dari generasi abad ini, guru juga harus memahami kebutuhan penting yanng menjadi bekal dalam persaingan di abad 21 ini.

Menurut Anies Baswedan dalam kesempatannya memberikan sambutan dalam pembukaan OSN di Palembang pada 2016. paling tidak ada 3 bekal yang harus dimiliki oleh generasi abad 21 dalam menghadapi era Industri 4.0, yaitu kompetensi, karakter dan literasi. Maka, seorang guru abad 21 juga minimal harus memiliki 3 pilar tersebut.

1.      1.      Kompetensi

Kompetensi adalah satu keharusan yang harus dimiliki oleh setiap guru, mereka harus ahli dalam bidangnya, tidak sebatas pengetahuan saja tetapi juga keterampilan dan sikap kerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai standar.  Kebutuhan kaum millenial (baca : peserta didik) harus di jawab dengan kompetensi, karena kaum millenial juga menghadapi tantangan yang sama, yaitu era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan persaingan. Jika kemudian mereka tidak punya bekal yang cukup maka mereka akan menjadi penonton bahkan kuli di negerinya sendiri.

masih menurut Anies, kompetensi yang menjadi tuntutan di abad ini adalah berfikir kritis, kreativitas, kolaborasi dan komunikasi. Berfikir kritis adalah sikap yang membuka wawasan dan fikiran mensikapi berbagai persoalan, sehingga dengan kompetensi ini guru diharapkan mampu memahami segala persoalan di lapangan sekligus mampu memberikan solusi dari permasalahan itu. Kreatifitas merupakan kompetensi yang menjadikan seorang guru mampu membaca situasi untuk kreatif dalam melakukan perubahan dalam pembelajaran, mengerti akan kebutuhan anak didiknya dan juga mampu menciptakan suasana baru dalam pembelajarannya. Kolaborasi dan komunikasi juga kompetensi penting di era ini, seorang guru tidak boleh menutup diri, dan pintar untuk dimiliki sendiri, akan tetapi seorang guru harus mampu berkolaborasi sekaligus membuka komunikasi secara baik dengan anak didiknya.

2.      2. Karakter

Salah satu perubahan mendasar dalam era Industri 4.0 ini adalah perubahan nilai-nilai sosial di tengah masyarakat. Teknologi memungkinkan terjadinya penurunan nilai-nilai sosial. Maka penguatan karakter menjadi satu keharusan yang harus dilakukan. Apakah itu karakter? Bagaimana menguatkannya?

Menurut beberapa ahli diantaranya adalah :

W. B. Saunders ; Karakter adalah suatu sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh seorang individu. Karakter seseorang dapat terlihat dari berbagai atribut dalam tingkah lakunya sehari-hari.

Alwisol ; Karakter adalah suatu penggambaran tingkah laku yang dilakukan dengan memperlihatkan dan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk), secara implisit maupun eksplisit.

John Maxwell ; Pengertian karakter jauh lebih baik dibandingkan dengan sekadar perkataan. Lebih lanjut, Maxwell mengatakan karakter adalah suatu pilihan yang dapat menentukan tingkat kesuksesan seseorang.

Kamisa ; Karakter adalah suatu sifat Kejiwaan, akhlak, serta budi pekerti yang dimiliki seseorang yang membuatnya berbeda dengan orang lainnya.

Soemarno Soedarsono ; Karakter adalah suatu nilai yang terpatri dalam diri seseorang yang didapatkan dari pengalaman, pendidikan, pengorbanan, percobaan, serta pengaruh lingkungan yang kemudian dipadupadankan dengan nilai-nilai yang ada di dalam diri seseorang dan menjadi nilai intrinsik yang terwujud di dalam sistem daya juang yang kemudian melandai sikap, perilaku, dan pemikiran seseorang.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); Menurut KBBI, arti karakter adalah tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak.

Jika kita simpulkan, karakter adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya.

Lalu karakter yang seperti apa yang dibutuhkan saat ini? Masih menurut Anies Baswedan, setidaknya ada dua karakter yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral meliputi iman, takwa, jujur, rendah hati dan lainnya. Sedangkan kinerja meliputi, kerja keras, ulet, disiplin, tuntas dan sebagainya. Keduanya harus ada dalam diri seorang guru, dan bukan salah satunya. Karena banya yang merasa cukup dengan moral saja, meraka beriman, rajin dalam ibadah, mengedapankan kejujuran, baik aklaknya, tetapi kinerjanya tidak baik, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab dan lain sebagainya. Sebaliknya banyak juga yang memiliki kinerja yang baik, tarcapai target pekerjaannya, disiplin dalam mengatur waktunya, tetapi mereka lupa memenuhi hak-hak ruhiyahnya, mereka tidak jujur hingga akhirnya dipenjara karena ketidak jujurannya. Oleh karena itu dua karakter inilah yang harus dihadirkan dalam diri seorang guru.

3.      Literasi

Luasnya wawasan seseorang tergantung dari kemampuan literasinya. Oleh karena itu ayat Al Quran yang pertama kali turun adalah tentang perintah “membaca” Iqra! (Iqra Bismimrobbikalladzi kholaq) “bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu yang menciptakan”  dan dilanjutkan di ayat ke 4 tentang perintah “menulis” (‘Alamal insaana maalam ya’lam) “yang mengajarkan manusia dengan pena”, ini maknanya mengajarkan dengan tulisan. Dan pada ayat-ayat berikutnya bagaimana Tuhan mengajarkan pada manusia tentang pengetahuan. Agar dengan demikian tertanamlah wawasan dan pengetahuan dengan baik. Begitu pentingnya kemampuan literasi ini, apalagi di era teknologi, informasi datang tak terbendung, sehingga berbagai upaya harus dilakukan untuk menumbuhkannya. Literasi menurut anies meliputi minat dan daya. Minat baca harus tumbuh dan daya baca harus mengikutinya. Hal yang mengejutkan terjadi di tahun 2016, dimana satu penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity” tentang Most Littered Nation In the World, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Ini sangat memprihatinkan, dan yang lebih membuat kita harus mengurut dada adalah Indonesia masih lebih rendah dengan Negara-negara tetangga, misalnya Malaysia dan Thailand. Ditahun 2019 minat membaca sudah mulai membaik, tetapi daya bacanya masih rendah. Oleh karena itu pemerintah sendiri saat ini sedang giat-giatnya melakukan program literasi baik itu di sekolah denga program Program Literasi Sekolah (GLS) maupun di masyarakat.

Tiga pilar itulah yang menurut saya mampu menjawab tantangan abad 21 ini sekaligus menjadi bekal setiap guru dalam mengahdapi era teknologi dan globalisasi di abad 21 ini. Ini sebagai bentuk reorientasi peran guru dalam menghadapi generasi abad 21, agar mereka mampu dan kokoh perkembangan zaman yang begitu cepat berubah, dengan bekal kompetensi, karakter dan literasi yang baik.

 

 

Sumber

https://graduate.binus.ac.id/2021/03/01/teknologi-digital-sebagai-kunci-utama-pada-era-industri-4-0/

https://realitasonline.id/artikel/pengembangan-sdm-pada-era-revolusi-industri-4-0/

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/05/tiga-pilar-hadapi-perubahan-zaman-literasi-kompetensi-dan-karakter

MEMIMPIKAN SEKOLAH IDAMAN

Sahabat pembaca yang berbahagia. Kenyataan adalah satu keniscayaan, dan kenyataan tentu berawal dari sebuah mimpi. Semakin indah mimpi kita maka kenyataan yang kita dapatkan juga semakin indah. Tetapi yang lebih penting dari pada itu adalah bangun dan bangkit untuk mewujudkan mimpi-mimpi indah itu. Sahabat setia, yang saya hormati, tentu kita ingat masa-masa sekolah di era sebelum tahun 90-an, hampir kita tidak mendapatkan tantangan yang berarti, meskipun dengan fasilitas yang serba minimalis, listrik, alat komunikasi, media info dan fasilitas-fasilitas lainnya.

Dan dahulu anak SD ketika ditanya, apa cita-citamu kelak, maka dia akan dengan tegas menjawab, ingin jadi dokter, jadi tentara, jadi presiden, dan lain-lain. Sehingga mereka sekolah dengan fokus ingin mewujudkan cita-citanya.dan hari ini kita mendapati kenyataan yang sangat paradoks dengan era dahulu, dengan fasilitas yang lebih lengkap, dengan kemajuan teknologi yang lebih pesat, akan tetapi anak seakan tidak mengerti mau jadi apa mereka, apa tujuan mereka sekolah. Bahkan kebanyakan orang tua juga sangat tidak peduli akan pendidikan mereka, cukup mereka bisa bersekolah, menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah dan tidak tau apa program pendidikan di sekolah-sekolah anaknya.

Tantangan global yang tidak bisa tidak harus kita hadapi, memerlukan strategi dan kreatifitas setiap sekolah, apalagi pada sekolah menengah atas. Tentu mereka para orang tua berharap banyak kepada sekolah, bahwa anak-anak yang mereka sekolahkan di sekolah-sekolah menengah atas benar-benar mendapatkan bekal yang cukup. Mereka berharap anak-anaknya benar-benar telah siap menghadapi kerasnya kehidupan.

Langkah pertama sebagai setrategi sekolah dalam mendidik mereka generasi bangsa adalah Menjadikan sekolah yang paling menyenangkan, the most enjoyable school. Ini adalah tantangan terberat bagi sekolah. Di era kemajuan teknologi dan pesatnya pergaulan bebas tentu tidak mudah menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan, bukan sebaliknya, menjadi sekolah yang menakutkan. Dan inilah yang kerap terjadi di dunia pendidikan. Anak tidak merasa aman di sekolah karena takut dengan temannya, takut dengan gurunya. Mereka kerap sekali mendapatkan ancaman bahkan kekerasan fisik. Dalam sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International Center for Research on women (ICRW) di tahu 2015 terdapat 84% anak di Indonesia mengalami tindak kekerasan di sekolah. Tentu ini membuat kita para orang tua prihatin sekaligus khawatir dengan kondisi anaknya. Oleh karenanya sekolah harus meyakinkan kepada para orang tua bahwa anak-anak merekan aman dan merasa senang selama di sekolah. Itu semua harus dimulai dari kepala sekolah sebagai leadernya para guru sebagai pendidik dan seluruh karyawannya. Mereka harus memiliki kompetensi yang cukup dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana menjaga hubungan yang baik dengan para anak didiknya, menjadikan mereka sahabat, dan tidak ada lagi perasaan membeda-bedakan, apalagi bullying. Punishment harus jelas dan tegas karena ini juga bagaian penting dalam menjaga stabilitas sekolah agar tetap kondusif. Dan kepala sekolah memiliki peranan besar dalam mengkondisikan suasana seperti ini. Membuat guru dan karyawan betah  di sekolah sehingga merekapun dengan tanpa beban memberikan hal yang sama dengan anak didiknya. Bisa kita bayangkan kalau perasaan seorang guru tertekan, banyak beban, maka dampaknyapun akan sangat besar terhadap proses pembelajaran. Mungkin secara tugas terselesaikan, tetapi selesai tanpa makna.

Langkah kedua adalah Pembentukan Karakter, Caracter building. Ini adalah bagian dari langkah pertama, hanya perlu penegasan bahwa pembentukan karakter adalah satu keharusan yang harus dilakukan pihak sekolah. Idealnya pembentukan karakter tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah, oleh karena itu perlu kerjasama yang baik antara sekolah dengan para orang tua. Perlu persamaan visi antara sekolah dengan orang tua sehingga tidak terjadi distorsi antara program yang dijalankan sekolah dengan pendidikan keluarga. Ini menjadi penting karena karakter adalah pembiasaan yang ingin ditekankan kepada anak-anak didiknya. Ini menjadi perhatian khusus karena kebiasaan yang tidak baik akibat pergaulan bebas, terbawa kesekolah. Mulai dari sikap, perkataan sampai pada perbuatan. Itulah yang harus ditata, kebiasaan-kebiasan baik itulah yang harus dikondisikan sekolah. Sekolah harus mempunyai parameter yang terukur dalam upaya pembiasaan baik ini, mulai dari disiplin, tanggung jawab, kreatif, kemandirian, kerja keras dan karakter-karaker positif lainnya. Hari ini anak melakukan apa harus jelas, mereka harus disibukkan dengan program-program kebaikan dari sekolah, dengan demikian mereka tidak mungkin melakukan hal-hal negative karena tika ada kesempatan untuk melakukannya. Sebagaimana juga yang pernah disampaikan oleh ulama besar Imam Hasan Al Basri, “Barang siapa tidak disibukkan dengan kebaikan maka dia akan disibukkan dengan keburukan”. Tentu saja pengkondisian ini tidak bisa terwujud kalau hanya menjadi tanggung jawab salah satu atau beberapa guru saja, atau guru guru BK saja, tetapi semua pihak baik pendidik dan staf karyawan maupun orang tua.

Langkah ketiganya adalah, menyediakan wadah bagi siswa dan juga para gurunya untuk bisa berkreatifitas. Studio creativity.  Inilah fungsi dari ekstrakurikuler, yang diharapkan dapat mengembangkan kreatifitas mereka. Mereka anak didik kita adalah anak-anak yang cerdas, masing-masing memiliki keunggulan. Biarlah mereka berkembang dengan kemampuannya, dan sekolah wajib untuk menyediakan wadahnya dan tentu saja mengarahkan dan membimbingnya. Tentu ini perlu dukungan semua pihak, baik dari pemerintah maupun para stake holder pendidikan. Bahkan dalam kurikulum 13, pelajaran Prakarya dan Kewirausahan, bisa dikembangkan dan disesuaikan dengan kearifan lokal, ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para siswa. Karena dengan inilah akan banyak mencetak entrepreneurship masa depan yang siap bersaing di dunia luar. Tentu juga dengan para guru dituntut untuk ikut berperan aktif, guru harus menjadi tim kreatif untuk mensuport anak didiknya.

Langkah Ke Empat, Menguatkan Program Literasi Sekolah, School Literacy Program. Allah Swt, pertama kali menurunkan AlQur’an didahului dengan ayat yang memerintakan untuk membaca, IQRA, bacalah, dan pada ayat ke empatnya ‘ALAMA BIL QOLAM, yang mengajar dengan perantaraan kalam (pena), ini tentu menekankan tentang pentingnya program literasi, yaitu membaca dan menulis. Berdasarkan penilaian Progamme for International Assessment of Adult Competencies (PIAAC) yang baru pertama kali diikuti Indonesia tahun 2016 ini, menujukkan hasil yang memprihatinkan. Dari 34 negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), penilaian kemampuan numerasi, literasi serta kemampuan memecahkan masalah para responden masyarakat dewasa ini di Jakarta, ternyata Indonesia berada di peringkat paling bungsu.(Tribunnews.com, 2 Nop 2016), tentu ini sangat memprihatinkan dan belum memenuhi harapan UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Bab XIII pasal 48 yang berbunyi: berisi “Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat”. Sekali lagi sekolah juga memiliki peran penting dalam hal ini, mengingat sepertiga hari mereka berada di sekolah. Beberapa program yang dilakukan adalah, memperbanyak koleksi buku perpustakaan, termasuk juga segi kenyamanannya, tidak heran jika 5% minimal harus dianggarkan dari dana BOS yang ada. Selain itu bisa juga membuat kreatifitas perlombaan, lomba mebuat cerpen, mading, baca cepat, membuat resume dan sebagainya yang bisa merangsang minat baca tulis para anak didiknya.

Tentu segala upaya ataupun langkah-langkah lain bisa dilakukan untuk memimpikan sekolah  idaman. Dan pada akhir tulisan ini saya ingin mengingatkan diri saya pribadi dan seluruh pembaca sekalian akan pesan Allah

“Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”. (an-Nisa’: 9)

Semoga kita tidak termasuk orang yang meninggalkan anak-anak didik kita dalam keadaan lemah, semoga Allah Swt selalu memberikan perlindungan dan kekuatan pada para orang tua, para guru dan para generasi penerus bangsa di tengah krisis yang melanda bangsa ini. Aamiin

Penulis

S. Wahyu Widodo


Thursday, September 9, 2021

kenangan tak terlupakan dari sebuah jarum suntik

 Dan…

Dua tahun pun berlalu, saat itu keceriaan menyelimuti wajahnya karena si Anak kecil itu telah memiliki banyak teman, ia begitu riang berlari dan bermain bersama dengan teman-temannya, lupa akan kesedihan yang dirasakannya ketika pertama kali ia berada di rumah budhenya. Keceriaan itu mampu menutupi kerinduannya akan  masa-masa bersama dengan adiknya dan saudara-saudara yang lainnya, dan karena tak lama lagi ia akan duduk dibangku  sekolah dasar. Ketika hari itupun tiba, dengan seragam dan sepatu barunya, dengan kening mengkilat karena minyak urang aring, ia bergegas bersama pakdenya yang kemudian ia panggil bapak menuju Sekolah SD yang berjarak kurang lebih 1 km dari rumahnya. “Coba lihat giginya, dah tumbuh belum” kata ibu guru yang belum ia kenal, anak kecil itupun meringis seolah ingin menampakkan giginya yang hitam dan habis karena gigis. Nah sekarang coba pegang telinganya kirinya dengan tangan kanannya, lingkarkan ke atas kepala ya” lanjut ibu guru. Begitulah awal anak kecil itu masuk sekolah yang sekarang sudah berumur 6 tahun itu. Hari-harinya dipenuhi keceriaan, temannya pun semakin bertambah banyak. Aneka ragam bermainpun juga mulai ia kenal, obak benteng, picis, tekong (permainan lembar batu dan petak umpet), lompat tali dan sebagainya. Pada zaman itu memang belum ada permainan modern, tidak ada hand phone, komputer, semua permainan tradisional, bahkan tak jarang anak-anak menikmati alam yang segar untuk bermain lepas.
Lamunannya akan anak kecil itu terhenti tatkala seseorang menegurnya dari belakang “ Maaf pak mengganggu sebentar, ada berkas yang harus bapak tanda tangani segera “ Ucap seorang lelaki sambil menyodorkan berkas yang dimaksud”, Ia pun kemudian menandatangani berkas tersebut dan memberikannya kembali kepada lelaki tadi, “ terima kasih pak, Iya sama-sama Her “. Kemudian lelaki yang disebut tadi berkata “ saya perhatikan sepertinya Bapak begitu asik memperhatikan anak-anak bermain “, ah…iya Her, melihat mereka bermain saya jadi kepikiran memasukkan agenda sehari bermain tradisional dalam acara peringatan hari jadi sekolah nanti, ucapnya “ waah,,,ide bagus tuh pak, saya dukung pak, anak sekarang memang harus kita kenalkan dengan permainan tradisional. Ia pun tersenyum mendengar ucapan lelaki itu lalu berkata “ ingatkan saya nanti ketika agenda rapat  sekolah, Siap pak, sambil tersenyum ! Kemudian lelaki itu permisi melanjutkan pekerjaannya. Lalu satu persatu permainan tradisional itu kembali bermain dalam ingatannya…
  Mengingat semua permainan itu tak ayal membuatnya tersenyum, bagaimana anak kecil itu bermain bersama saudara-saudaranya, adiknya yang pemberani, kakak-kakaknya yang juga suka mengalah.
Suatu ketika anak kecil itu begitu senang ketika pakdenya mengajaknya berkunjung ke kampung halamannya untuk bertemu dengan orang tua dan saudara-saudaranya, disitulah kebahagiaan yang tak pernah terukir rasa kangenpun meluap saat-saat mereka bertemu, kadang tertawa, kadang juga bertengkar, begitulah kehidupan anak kecil. Namun tidak bisa berlama-lama karena harus kembali bersekolah.
Kembali melakukan rutinitas keseharian selepas balik dari kampung halamannya, pagi-pagi ia sudah harus mandi supaya sempat beli sarapan kegemarannya  di warung pak jono,  nasi campur dengan lauk tempe mendoan. ia kembali tersenyum simpul ketika mengingat itu dan ia yakin anak kecil itu pasti sangat bersyukur dengan apa yang pernah ia lalui dimasa kecilnya.
Pikirannya terus berputar pada kenangan anak kecil itu, hingga ia kembali mengingat kala anak kecil itu yang selalu ditakut-takuti akan disuntik pak dokter jika nakal. Bahkan suatu hari ia yang sedang asyik bermain di rumah temannya tanpa sengaja melihat seorang bapak dari temannya sedang memegang suntikan lalu menancapkan di bagian pahanya, yang kemudian hari baru ia ketahui jika bapak itu sedang mengobati sakitnya dan rutin melakukannya sendiri karena ia seorang tentara bagian kesehatan. Tiba-tiba Bapak itu melihat kehadiran anak kecil itu dan kemudian memanggilnya “sini le, kalau mau ku suntik” dengan wajah ketakutan anak kecil itupun berlari sambil menangis. Ketika suatu hari di sekolah ada kegiatan vaksin, anak kecil itu menangis ketakutan membayangkan ia akan ditusuk jarum suntik, yang sangat menyakitkan. Setiap orang yang datang dengan pakaian necis ke rumahnya, dianggapnya seorang dokter atau mantri yang siap menancapkan jarum suntiknya, tak ayal anak itupun menangis ketakutan
Tanpa sadar badannya bergidik seolah bisa merasakan ketakutan anak kecil itu akan jarum suntik, dan sepertinya rasa takut terhadap jarum suntik itu terus menghantui anak kecil itu hingga sekarang, seakan menjadi kenangan tak terlupakan…

Bersambung...

Outdoor Class Day

 


Kita sangat senang jika melihat anak-anak belajar tanpa beban, tanpa tekanan dan intimidasi, mereka bebas mengeksplor banyak kebaikan, mereka akan tumbuh dan berkembang berdasarkan potensi yang mereka miliki. Mari kita didik mereka menjadi anak-anak yang kuat, kuat fikirannya, kuat fisiknya dan kuat mental dan spiritualnya. 

like and subscribe video OCD 👉 OCD SMADA Berau

Dan Anak Kecil Itupun Menangis di Bawah Pohon Pisang ...

 Riuh suara anak-anak bermain dan tertawa mencuri perhatiannya, membuat lelaki paruh baya itu kemudian meninggalkan meja kerjanya dan keluar untuk melepaskan penat sejenak. Tak lepas pandangan matanya memperhatikan polah anak-anak yang asik bermain, ada yang bermain basket, bermain bulu tangkis, ada yang hanya sekedar duduk-duduk sambil bercanda dengan teman lainnya, bahkan ada yang berlari berkejar-kejaran, melihat itu tak sadar terlontar ucapan dari lelaki paruh baya itu “ mereka masih saja bermain kejar-kejaran, padahal tak lama lagi mereka sudah menginjak bangku universitas “ sambil ikut tersenyum melihat polah anak-anak tadi. 


Tanpa ia sadari, ia terkenang kembali akan masa lalunya, tentang seorang anak kecil. Saat itu anak kecil itu berusia 4 tahun. Bayangan masa lalu seolah menari dalam pelupuk matanya,  bagaimana anak kecil itu selalu bermain riang bersama teman sebayanya, berlari dan berkejar-kejaran di pematang sawah, seolah tidak pernah merasakan dan mengerti akan sulitnya kehidupan. Iapun selalu bermain bersama adiknya yang hanya terpaut usia kurang dari 1 tahun. Tapi yang unik, adiknya terkenal lebih pemberani dibandingkan dirinya, siapapun akan dihadapi dan tak jarang sang adik kerap menjadi pelindung bagi kakaknya ketika lagi di ganggu teman bermainnya, tak ayal kakakpun amat sayang pada adiknya.

     Bayangan masa lalu itu terus bergeser pada kondisi keluarga anak kecil kala itu, bagaimana ia terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, tinggal di daerah terpencil dengan latar pendidikan yang hampir masyarakatnya tidak pernah mengenyam pendidikan. Meskipun demikian, terlahir dalam kondisi keluarga sederhana dan memiliki lima saudara laki-laki semua, dengan sebutan Pandawa Lima sama sekali tak membuatnya sedih namun sebaliknya selalu membuatnya bersyukur memiliki orangtua yang meskipun tidak pernah mengenyam bangku sekolah, dengan kondisi ekonomi yang serba sulit dan hanya bekerja sebagai petani, tak menyurutkan semangat kedua orangtuanya untuk membesarkan kelima anak laki-laki mereka, bagaimana anak-anak mereka bisa sekolah setinggi mungkin dan mencapai cita-cita.

       Suatu ketika, keluarga anak kecil itu kedatangan saudara ibunya dirumah, mereka biasa memanggil dengan sebutan budhe, beliau adalah kakak tertua dari ibunya, yang belum dikaruniai seorang anak dalam rumah tangganya. Maksud kedatangannya tak lain ingin mengadopsi salah satu dari keponakan mereka (baca Pandawa lima). Sebagai keponakan, tentu mereka sangat senang dengan kedatangan budhe dan pakdhenya, tanpa mengetahui pasti apa maksud kedatangan mereka. Hingga dikemudian hari, kedua orangtuanya pun harus mengambil keputusan, memilih salah satu diantara kelima anaknya, akhirnya pilihan jatuh pada anak ke empat, anak kecil itu. Upaya membujuk, merayu bahkan menilap ( sebutan kebiasaan orang kampungnya dengan menjanjikan sesuatu agar anak-anak senang ) pun dilakukan meskipun ia, anak kecil itu tak pernah mendapatkan apa yang sudah dijanjikan, hingga akhirnya anak kecil itupun bersedia.

     Dan tibalah masanya anak kecil itu diantar ke sebuah desa tempat dimana budhe dan pakdhenya tinggal. Sesampainya disana anak kecil itupun nampak gelisah, mukanya pucat dan wajahnya menyiratkan perasaan yang sulit digambarkan. Dari pagi hingga siang ia terus berdiri diluar rumah dibawah pohon pisang dan tidak mau masuk kedalam rumah budhenya. Hingga kedua orang tuanyapun akhirnya pergi meninggalkannya secara diam-diam agar anaknya bisa melupakannya sebagaimana saran dari para tetangganya. Namun anak kecil itu masih tetap terdiam tak bergeming dari tempatya dan tidak mau masuk ke dalam rumah.

     Pun akhirnya, anak kecil itu tak bisa membendung perasaannya, ia menangis hingga air matanya mengalir deras membasahi pipinya seiring perasaaannya yang teramat sedih. Dan ia masih tak bergeming di bawah pohon pisang di depan rumah budhenya.   

Bersambung....